Pasalnya, ia sempat menderita penyakit tifus beberapa bulan sebelum olimpiade.
Sakit itu membuatnya harus absen di dua turnamen jelang Olimpiade, padahal ia tengah mengejar poin agar terkualifikasi.
"Waktu itu saya saingan sama Budi dan Hari, masih ada lima turnamen, tapi saya kena tifus dan kehilangan kesempatan di dua turnamen. Jadi sisa turnamennya hanya All England, Swiss Open dan Japan Open 2000. Saya bertekad, minimal harus masuk semifinal kalau mau lolos, untungnya hasilnya bisa lebih baik," ungkap Hendrawan.
Mengalami kejadian seperti itu, Hendrawan mengaku sempat sangat down.
Ia memotivasi diri sendiri agar segera pulih karena takut tersalip rekan-rekannya sendiri.
"Lagi ngejar poin ke olimpiade lalu sakit, itu rasanya down sekali. Lalu saya berkomitmen, saya harus bisa pulih, atau kesalip teman-teman saya sendiri. Untuk jadi pemain top dunia, atlet itu harus melewati batas tertentu, itu tantangannya, bisa atau tidak melewatinya? Atau mau menyerah dan pasrah dengan keadaan?" cerita Hendrawan.
Usai pulih dari tifus, Hendrawan pun berjuang melatih fisiknya yang sempat menurun.
Ia mati-matian menelan porsi latihan dari pelatih fisiknya saat itu, Paulus yang membuatkan program latihan bersama atlet lari DKI Jakarta.
Meski harus menelan porsi latihan standard atlet lari, Hendrawan berhasil melakukannya dan membuat atlet lari yang latihan bersama kaget.
"Saya latihan lari di bukit Senayan yang naik turun. Waktu itu pelarinya kaget, kok saya bisa mengikuti pace-nya dia? Padahal kata dia itu program persiapan pertandingan atlet lari. Itulah yang namanya pengorbanan. Saya sadar kalau soal kuat, mungkin saya tidak sekuat pemain lain, makanya saya latih semua kekurangan saya, dan usaha lebih," jawab Hendrawan.
Dengan segala usahanya tersebut, Hendrawan akhirnya menjadi satu dari tiga yang lolos ke Olimpiade.
Source | : | badmintonindonesia.org |
Penulis | : | Ananda Lathifah Rozalina |
Editor | : | Ananda Lathifah Rozalina |