BolaStylo.com - Pelatih kepala bulu tangkis Malaysia, Hendrawan rupanya pernah berusaha mati-matian sebagai pemain saat membela nama Indonesia di kompetisi dunia.
Hendrawan mungkin kini dikenal sebagai pelatih kepala bulu tangkis di Malaysia, namun jauh sebelum itu, ia adalah salah satu tunggal putra kebanggaan Indonesia.
Hendrawan adalah salah satu tunggal putra yang bersaing di era Taufik Hidayat dan Hariyanto Arbi.
Pria yang kini berusia 47 tahun itu dulu bahkan pernah berusaha mati-matian demi bisa terkualifikasi pada Olimpiade 2000 di Sydney, Australia.
Baca Juga: 4 Aturan Ketat Shin Tae Yong untuk Pemain Timnas Indonesia, Nomor 1 Sampai Ada Dendanya!
Dilansir dari BadmintonIndonesia.org, Hendrawan harus bersaing dengan 4 pemain lain dari Indonesia untuk merebut tiga tiket ke Olimpiade.
Kala itu, ia harus bersaing dengan Taufik Hidayat, Marlev Mainaky, Hariyanto Arbi dan Budi Santoso.
Dalam persaingan itu, Hendrawan menuturkan memiliki jalan yang cukup terjal.
Pasalnya, ia sempat menderita penyakit tifus beberapa bulan sebelum olimpiade.
Sakit itu membuatnya harus absen di dua turnamen jelang Olimpiade, padahal ia tengah mengejar poin agar terkualifikasi.
"Waktu itu saya saingan sama Budi dan Hari, masih ada lima turnamen, tapi saya kena tifus dan kehilangan kesempatan di dua turnamen. Jadi sisa turnamennya hanya All England, Swiss Open dan Japan Open 2000. Saya bertekad, minimal harus masuk semifinal kalau mau lolos, untungnya hasilnya bisa lebih baik," ungkap Hendrawan.
Mengalami kejadian seperti itu, Hendrawan mengaku sempat sangat down.
Ia memotivasi diri sendiri agar segera pulih karena takut tersalip rekan-rekannya sendiri.
"Lagi ngejar poin ke olimpiade lalu sakit, itu rasanya down sekali. Lalu saya berkomitmen, saya harus bisa pulih, atau kesalip teman-teman saya sendiri. Untuk jadi pemain top dunia, atlet itu harus melewati batas tertentu, itu tantangannya, bisa atau tidak melewatinya? Atau mau menyerah dan pasrah dengan keadaan?" cerita Hendrawan.
Usai pulih dari tifus, Hendrawan pun berjuang melatih fisiknya yang sempat menurun.
Ia mati-matian menelan porsi latihan dari pelatih fisiknya saat itu, Paulus yang membuatkan program latihan bersama atlet lari DKI Jakarta.
Meski harus menelan porsi latihan standard atlet lari, Hendrawan berhasil melakukannya dan membuat atlet lari yang latihan bersama kaget.
"Saya latihan lari di bukit Senayan yang naik turun. Waktu itu pelarinya kaget, kok saya bisa mengikuti pace-nya dia? Padahal kata dia itu program persiapan pertandingan atlet lari. Itulah yang namanya pengorbanan. Saya sadar kalau soal kuat, mungkin saya tidak sekuat pemain lain, makanya saya latih semua kekurangan saya, dan usaha lebih," jawab Hendrawan.
Dengan segala usahanya tersebut, Hendrawan akhirnya menjadi satu dari tiga yang lolos ke Olimpiade.
Hendrawan lolos bersama Taufik Hidayat dan Marlev Mainaky.
Berlaga di Olimpiade, Hendrawan pun merasakan hal yang luar biasa.
Ia sadar jika Olimpiade Sydney akan jadi yang pertama dan terakhirnya.
Hendrawan menemukan jika musuh terbesar dari Olimpiade bukan soal lawan, tapi bagaimana kita bisa mengatur diri sendiri.
"Saya sadar kalau waktu saya tidak lama, saya harus bisa atur peak performance saya di kejuaraan penting, termasuk olimpiade. Kenapa pressure di olimpiade besar sekali? Karena kalau nggak berhasil ya nunggu empat tahun lagi. Musuh terbesar di olimpiade itu adalah situasi dan kemauan kita. Kalau terlalu mau juga nggak boleh, harus semangat, tapi tidak boleh menggebu-gebu, mengatur ini yang nggak gampang," ungkap Hendrawan.
Dengan segala usahanya kala itu, Hendrawan berhasil masuk final meski tak menggondol emas.
Hendrawan meraih medali perah usai kalah dari pebulu tangkis China, Ji Xinpeng 4-15, 13-15 (red : kala itu sistem poin tidak rally seperti sekarang).
Meski berhasil meraih perak, Hendrawan mengaku merasa gagal karena tak berhasil memenuhi tradisi membawa pulang emas.
"Di Indonesia, medali perak, perunggu itu artinya gagal, karena tradisi kita emas olimpiade. Saya sendiri memang merasa gagal," tuturnya.
Saat bercerita apda teman cabang olahraga lain, Hendrawan diberi motivasi untuk tidak boleh berpikir begitu.
"Waktu cerita dengan teman di cabor lain, dia bilang saya tidak boleh berpikir begitu, karena kita adalah olympian, masuk olimpiade saja nggak gampang, apalagi dapat medali," lanjutnya.
Tapi, bulu tangkis berbeda dari cabor lain, emas adalah tradisi yang mengukur kesuksesan berkompetisi di Olimpiade.
"Tapi di bulutangkis kan nggak begitu, kami ditarget emas. Contohnya Tontowi (Ahmad)/Liliyana (Natsir), kalau waktu itu nggak dapat emas, pasti dibilang gagal juga. Karena target dan tradisinya sudah emas," tambahnya.
Terlepas dari ketidak berhasilannya membawa pulang emas, Hendrawan tetaplah atlet yang membanggakan Indonesia.
Selain medali perak Olimpiade 2000, Hendrawan sukses menjadi juara dunia pada 2001 usai menaklukan tunggal putra legendaris Denmark, Peter Gade.
Ia juga berhasil meraih 5 gelar jaura di berbagai kompetisi selama aktif bermain bulu tangkis.
Tak cuma itu, Hendrawan juga berkontribusi dalam 3 emas yang diraih tim putra Indonesia pada Thomas Cup 1998, 2000 dan 2002.
Ia juga ikut dalam skuat Asian Games 1998 tim putra yang berhasil meraih emas.
Ia sendiri berhasil meraih perah dalam nomor tunggal putra Asian Games 1998 di Bangkok, Thailand.
Kini, ia menjadi pelatih kepala bulu tangkis Malaysia, dan baru saja mengantarkan tim putra Malaysia meraih runner up di Kejuaraan Beregu Asia 2020 di Manila, Filipina.
Source | : | badmintonindonesia.org |
Penulis | : | Ananda Lathifah Rozalina |
Editor | : | Ananda Lathifah Rozalina |
KOMENTAR